Sikap Partai Gerindra yang menginginkan kepala daerah dipilih oleh DPRD barangkali tidak mengherankan jika melihat manifesto perjuangan partai besutan Prabowo Subianto itu. Sejak awal, Gerindra memang mengkritik pelaksanaan pilkada langsung.
Dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra halaman 39 disebutkan, "Terkait masalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, rakyat semakin jenuh terhadap politik. Kejenuhan ini dapat dilihat dengan semakin besarnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (golput) dalam Pilkada."
"Kejenuhan ini berpotensi negatif pada partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum yang bermuara pada rendahnya legitimasi pemerintah. Selain itu Pilkada telah
menyebabkan konflik horisontal dalam masyarakat yang kontraproduktif. Partai Gerindra akan melakukan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan Pilkada dan
mengupayakan penyelenggaraan Pilkada secara serentak," demikian tertulis dalam manifesto.
Jika dulu kritik Gerindra hanya menghasilkan usulan pilkada serentak, kini setelah Pilpres 2014 usai, partai pimpinan Koalisi Merah Putih itu menggalang kekuatan untuk menolak pilkada langsung. Bersama Golkar, Demokrat, PAN, PKS, PPP, Gerindra mengusulkan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Martin Hutabarat mengatakan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Menurut dia, pilkada langsung membuat kepala daerah butuh banyak modal untuk ikut, dampaknya korupsi ketika sudah menjabat.
"Pengeluaran seorang calon kepala daerah bisa berpuluh-puluh miliar bahkan beratus-ratus miliar untuk tingkat kabupaten dan kota. Sesudah kepala daerah terpilih terjadilah kerawanan bermain-main dengan APBD," kata Martin saat dihubungi, Jumat (5/9).
Hal ini, kata Martin, termasuk pengangkatan pejabat di daerah seperti kepala dinas yang banyak terjadi permainan uang. Buktinya, ratusan kepala daerah tersangkut korupsi selama 8 tahun terakhir ini.
"Akibatnya selama ini sudah ada 327 bupati, gubernur, wali kota tersangkut korupsi dan masuk penjara, selama 8 tahun ini. Itu data dari Kemendagri," imbuhnya.
Direktur Eksekutif Perludem Titiek Anggraeni menilai maraknya politik uang tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak pilkada langsung.
"Soal politik uang rakyat dikotori politik uang, pertanyaannya siapa pelaku politik uang? Rakyat? Kan bukan. Lalu kenapa mata rantai ini disalahkan pada rakyatnya, ketika aktor utamanya ini yang belum dibenahi, pokok masalahnya di mana solusinya di mana ini tidak saling bertemu," tegas Titiek dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (5/9)
Soal alasan sering terjadi konflik horizontal karena pilkada langsung, menurut Titiek, tidak ada data konflik horizontal yang signifikan membuat pilkada langsung harus tidak dilakukan lagi.
"Soal konflik horizontal, pertanyaannya datanya berapa bahwa konflik horizontal itu menjadi signifikan untuk mengambil mandat rakyat dan mengembalikan pada DPRD," ujarnya.
Sumber : Merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar